Monday, June 27, 2011

Daerah Butuh Pemimpin yang Konsisten

Ibarat penyakit, Bombana saat ini sedang menderita penyakit kangker kronis stadium 3 yang hampir melumpuhkan semua sistem mulai dari manajemen birokrasi pemerintahan, manajemen pembangunan daerah hingga pemanfaatan sumberdaya alam yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat, telah dilemahkan oleh kepentingan orang perorang atau golongan. 
Pembuktian atas pelemahan sistem tersebut, nampak pada sejumlah dugaan kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Bombana, Atikurahman, Idrus Efendy Kube (Mantan Sekda), Rustam Supendi (Sekda saat ini), dan beberapa pejabat lainnya.
Pelemahan sistem tesebut mengakibatkan tidak terbangunnya sarana infrastruktur, tidak teriventarisirnya aset daerah, minimnya pendapatan daerah khususnya sektor pertambangan, dan lemahnya administrasi keuangan daerah disamping tidak didukung oleh lahirnya ide kreatif dari  para pemangku jabatan di dinas, badan dan kantor lingkup Pemda Bombana.
Ide kreatif dan inovasi para pemangku jabatan di dinas, badan dan kantor memang sangat dibutuhkan, untuk mengejar ketertinggalan daerah khususnya diantara 11 kabupaten/kota lainnya di Sultra, seperti Kabupaten Wakatobi yang seumur dimekarkan dari Kabupaten Buton atau Buton Utara yang baru 4 tahun dimekarkan dari Kabupaten Muna.
“Bagaimana daerah ini mau berkembang, jika para kepala dinas, badan dan kantor hanya meminta tanda tangan pencairan uang yang ada, bukan membuat dan mengusulkan program multiefek,” keluh Mantan Sekda Bombana, Idrus Efendi Kube, dalam dialog lepas dengan Radar Buton, beberapa waktu lalu.
Hal serupa pernah dikemukakan Penjabat Bupati Bombana, Ir. H Hakku Wahab, kepada Radar Buton, beberapa waktu lalu, sembari menambahkan membangun Bombana sejajar dengan daerah lain hanya dibutuhkan pemimpin yang konsisten, bukan yang berpikir bagaimana mengembalikan modal saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Kalau bupati terpilih hanya berpikir bagaimana uang Pilkadanya bisa kembali, maka tunggulah saat kehancuran bagi Bombana,” imbuh Hakku Wahab.
Sebaliknya, jika pemimpin yang terpilih benar-benar konsisten atas komitmen politik yang telah diutarakan di publik, maka semua sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya, sehingga untuk mengejar ketertinggalan daerah, dapat lebih mudah terwujud.
Konsistensi pemimpin yang dimaksudkan Hakku Wahab, tidak semata-mata konsentrasi pada pengangkatan dan penempatan pejabat eselon, melainkan memberdayakan dan melibatkan stakeholders, seperti para pengusaha, LSM, Pers, dan masyarakat untuk menggelorakan semangat membangun dengan tri pilar utama terbentuknya Kabupaten Bombana yakni Kabaena, Rumbia dan Poleang.
Wujud konsistensi yang diharapkan yakni reformasi birokrasi seperti menempatkan pejabat sesuai kompetensi dan kinerja, bukan didasarkan pada pembisik atau karena tim sukses, sebagaimana yang terjadi di periode sebelumnya.
“Jika manajemen pemerintahan tidak didasarkan pada kompetensi dan kinerja, mustahil keberlangsungan pembangunan di daerah ini dapat berhasil seperti yang diharapkan,” tukas Sekretaris DPRD Bombana, Drs. Basiran.
Penempatan pejabat berdasarkan kompetensi sangat penting, sebab itulah yang menjadi acuan bagi pejabat yang ditunjuk dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsinya, yang akan nampak pada pembuatan perencanaan program pembangunan daerah baik yang bersifat jangka menengah (RPJM) maupun jangka panjang (RPJP).
RPJM maupun RPJP merupakan  acuan bagi daerah yang didalamnya sudah terinventarisir semua unsur potensi pendapatan dan  bentuk pengelolaan sumberdaya alam secara maksimal sehingga upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tidak lagi berprinsip pada “tiba masa tiba akal”. (***)

[Read More...] - Daerah Butuh Pemimpin yang Konsisten

Daerah Tertinggal Diantara Gelimang Butiran Emas



Ibarat kapal, Kabupaten Bombana hanya sandar di dermaga, tetapi enggan untuk berlayar meski muatan dan penumpangnya telah melebihi kapasitas, sebab masih menunggu sang nakhoda handal yang hendak membawa kapal tersebut, sehingga tidak terombang-ambing diterpa ombak samudera, seperti yang telah terjadi pada periode sebelumnya.
Awal dimekarkannya Kabupaten Bombana, 7,7 tahun lalu, dinakhodai dr. Sjafiudin Dullah, selama hamper 1,3 tahun sejak Desember 2003 hingga awal tahun 2005 dan dilanjutkan oleh Drs. Jaliman Madi, MM, hanya ditekankan pada tiga hal prioritas  yang meliputi, pembentukan struktur pemerintahan dilanjutkan pembentukan badan, dinas dan kantor.
Hal kedua yakni melaksanakan program pembangunan dan pelayanan masyakat, dan ketiga adalah mempercepat proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah, yang pada akhirnya pasangan Atikurahman-Subhan Tambera dan dilantik  oleh Gubernur Sultra yang saat itu masih dijabat Ali Mazi, SH, berdasarkan surat keputusan (SK) Mendagri No 131.54/965 tanggal 25 Oktober 2005.
Visi dan misi pasangan Atikurahman-Subhan Tambera, muaranya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari multi sector baik pertanian, peternakan, perkebunan, dan pengelolaan sumber daya alam secara maksimal.
Visi dan misi itu, tidak satu kata pun yang salah meskipun faktanya justru berbanding terbalik, bahwa pengelolaan kekayaan alam seperti tambang hanya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi orang per orang atau kelompok.
Penilaiannya adalah hasil eksplorasi dan eksploitasi tambang nikel di hampir seluruh kawasan di Pulau Kabaena, tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar areal tambang itu sendiri, yang ada justru indikasi pemerasan dan penindasan warga,  seperti nilai jual tanah yang hanya Rp. 1.000 hingga Rp. 2.000 per meter.
Selain nikel yang cadangannya diperkirakan mencapai 2,3 juta ton, terdapat juga jenis tambang potensial lain di pulau agamis itu seperti batu chromite, marmer, permata, emas.
“Dengan kekayaan alam yang dimiliki di Kabaena tersebut, idealnya masyarakat yang mendiami pulau itu sudah akan sejahtera, karena telah masuknya puluhan perusahaan tambang. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat semakin merasa tersakiti,” ujar coordinator LSM Sagori, Sahrul.
Itu baru kekayaan alam yang di Pulau Kabaena. Selanjutnya adalah di wilayah Rumbia dan sekitarnya, kekayaan alam yang lebih melimpah dan sekarang sedang diolah besar-besaran adalah tambang emas. Cadangan emas di Bombana diperkirakan mencapai 156.000 ton dan sedang dikelola sebanyak 90 perusahaan tambang.
Saat ditemukannya tambang emas di Desa Tahiite, Kecamatan Rarowatu 2008 lalu, seolah memberikan secerca harapan bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya dan wilayah timur Indonesia pada umumnya, sebab ada wacana berkembang bahwa areal tambang di Bombana akan dikelola dalam bentuk pengorganisasian tambang rakyat.
Sayangnya wacana tersebut hanya seumur jagung, sebab Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara mengambil alih pengolahan tambang dengan alasan untuk menyelamatkan aset Negara, sebagaimana tertuang dalam UU Dasar 1945 yang menyebutkan bumi dan air serta kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Alasan Pemprov untuk mengambil alih pengolahan tambang tersebut mestinya disadari oleh Pemerintah Kabupaten Bombana, sebagai bentuk ketidakberhasilannya dalam mengelola sumberdaya alam yang diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Indicator ketidakberhasilan Pemkab Bombana tersebut salah satunya adalah masih ditetapkannya sebagai daerah tertinggal bersama 137 daerah lainnya dari sebanyak 457 kabupaten/kota di Indonesia.
Ditetapkannya Bombana sebagai salah satu daerah tertinggal yakni masih tingginya jumlah penduduk penduduk miskin yang mencapai 20,200 kepala keluarga atau  16,63 persen dari total penduduk 111.481 jiwa.
Selain itu, alasan paling mendasar adalah karena pembangunan sarana infrastruktur seperti jalan di daerah penghasil emas ini masih jauh lebih tertinggal dibanding Kabupaten Buton Utara yang baru sekitar empat tahun lalu dimekarkan.

[Read More...] - Daerah Tertinggal Diantara Gelimang Butiran Emas